Selasa, 20 November 2007

PndPt Q Tnt6 BLo6

Wis Jd Nech Blo6 Q.............PrTma X Tw BLo6 2 Aq JNkL B6t,Spa Seh y6 cipTaiN Blo6 kr6 kRjaaN b6t......Tpi StLh Liat BLo6 TmN2 Pd 600D2 Aq Mw J6a Y6 keK 62...Mank Bnr Kta Diri....Blo6 Siiiiip b6t.....Or6 Tak KnL mKa Tak SyaNk....Enak Seh Px BLo6 BeBas Men6EkspResikan Diri,,,,,,,,,

CrPn Nech

KEGENITAN TEKNOLOGI
judul Taxi Blues
ilustrator Erwin Primaarya
cerita Seno Gumira Ajidarma
isi 32 hal.
penerbit Smart Reading Production, 2001

Satu lagi karya cerpen Seno Gumira Ajidarma dikomikkan pasca Jakarta 2039. Taxi Blues yang diambil berdasarkan antologi cerpen Seno Iblis Tak Pernah Mati (penerbit Galang Press, 1999) kali ini dikomikkan oleh ilustrator yang juga animator film iklan, Erwin Primaarya. Komik ini mengisahkan perjalanan seorang sopir taksi menjumpai berbagai macam karakter penumpangnya. Seperti cerpen aslinya komik ini mencoba mengalihkan ke bahasa gambar keterasingan sopir taksi di tengah malam. Dengan mengambil setting malam hari dengan lihai Erwin mendramatisir cerpen Seno ini ke dalam suasana gerimis hujan (dalam cerpen aslinya tidak digambarkan suasana hujan.)

Bukan sekedar komik biasa gambar-gambar dalam Taxi Blues versi Erwin ini mengambil pendekatan layaknya aspek sinematografis sebuah film. Gambar per gambarnya dibuat Erwin layaknya story board film. Bahkan menurut ilustratornya sendiri sehabis membaca cerpen Taxi Blues ia membuat gambar seakan sedang mengerjakan story boardnya. Komik ini juga disertai cd-rom interaktif yang berisi sebagian proses di balik pembuatan komik Taxi Blues mulai dari sket sampai beberapa gambar yang dipertajam lewat shoot per adegan dengan teknik animasi. Warna-warna biru yang dominan dalam komik ini berhasil menggambarkan kesuraman malam cerpen Seno. Pewarnaan biru dan warna-warni lampu di background gambar menurut ilustratorrnya terinsiprasi dari film Taxi Driver karya sineas Martin Scorsese.

Sayang, kendati telah berhasil mempergunakan aspek sinematografis serta komputerisasi yang begitu total terutama dalam pewarnaan, komik ini jadinya terlalu genit sehingga nyaris melupakan garis-garis alamiah di setiap karakter layaknya penggambaran komik. Bahkan dengan teknik komputer komik ini jadinya terasa kurang manusiawi. Pembaca dihadapkan pada gambar yang terlalu “wah” sehingga meninggalkan kesan hambar setelah cerita ini selesai. Suasana keterasingan sopir taksi juga kurang berhasil digambarkan sehingga di tangan Erwin ia hanya jadi semacam tokoh utama biasa saja tanpa kesan.

Jika memang aspek komputerisasi yang ditonjolkan Erwin ada baiknya ia mengambil cerita lain yang lebih panjang. Dengan cerita yang lebih panjang (mungkin cerita macam komik Tapak Sakti, superhero berbagai versi ala Batman atau wayang) cerita jadinya malah lebih hidup sehingga pembaca lebih terserap imajinya dalam menikmati gambar bak membaca komik-komik Amerika produk Detective Comics atau misalkan produk-produk R.A Kosasih yang dipertajam lewat grafis komputer.

Jika yang terambil adalah cerita sependek ini komikus seharusnya lebih mempertajam garis-garis penanya entah itu dalam penggambaran karakter maupun pewarnaan. Tanpa bermaksud membandingkan, kekuatan sebuah komik mau tak mau akhirnya kembali lagi pada teknis bukan pada teknologi semata seperti yang dilakukan Asnar Zacky di komik Jakarta 2039. Namun sebagai pencapaian ide baru komik ini patut kita hargai dalam upayanya mengisi dunia perkomikan Indonesia yang sampai saat ini tak dipungkiri lagi masih tersingkir dengan produk luar negeri.[*]
DNA

Tidak ada komentar: